Sektor Perikanan Indonesia Lemah Hadapi AEC

id hasanuddin atjo

Sektor Perikanan Indonesia Lemah Hadapi AEC

Pekerja mengangkat ikan tuna yang akan dipaketkan ke Makassar guna memenuhi penjualan ekspor di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Donggala, Sulawesi Tengah, Sabtu (12/4). (ANTARAFoto/Basri Marzuki)

Kalau daya saing ini bisa dibenahi, maka Indonesia akan menjadi pemain utama di sektor kelautan dan agro dalam AEC 2015 mendatang karena potensi yang dimiliki Indonesia pada kedua sektor ini tidak bisa ditandingi oleh negara manapun di Asean," ujarny
Donggala, Sulteng, (antarasulteng.com) - Daya saing komoditi perikanan Indonesia dinilai masih relatif lemah menghadapi era perdagangan bebas negara-negara Asia Tenggara (Asean Economic Community) pada 2015.

"Pemerintah dan semua pemangku kepentingan di sektor ini harus bekerja keras meningkatkan daya saing. Kalau tidak, Indonesia berpotensi menjadi penonton pada AEC nanti," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah Hasanuddin Atjo dalam perbincangan dengan Antara usai melepas ekspor perdana ikan tuna milik PT Prima Indo Tuna di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Donggala, Sabtu siang.

Doktor perikanan lulusan Universitas Hasanuddin Makassar itu menilai ada dua hal penting yang harus segera dibenahi untuk meningkatkan daya saing menghadapi AEC yakni pertama masalah sumber daya manusia dan kedua sistim logistik.

Ia mengatakan semua pelaku di sektor perikanan, baik pemerintah, pengusaha dan nelayan harus mengubah pola pikir dari pola pikir berorientasi keuntungan (profit oriented) menjadi berorientasi pasar (market oriented).

Menurut dia, produk yang dihasilkan harus disesuaikan dengan keinginan pasar, sehingga dituntut kreativitas dan inovasi serta tidak lagi menjadikan pelaku usaha yang selalu minta disubsidi bila terjadi penurunan harga produk.

"Kalau kita masih berorientasi keuntungan, maka pada saat sebuah usaha tampak tidak menguntungkan maka pelakunya akan mundur tanpa berinovasi untuk memperbaiki hal-hal yang bisa membuat usaha itu menjadi menguntungkan," ujarnya.

Kalau pola pikirnya berorientasi pasar, kata ahli perudangan itu, maka semua pelaku akan berusaha untuk memproduksi sesuatu yang disukai pasar. Dan bila ini terwujud, maka tidak akan ada usaha yang merugi karena semuanya akan bisa masuk pasar secara mudah, katanya.

Masalah kedua adalah sistem logistik yang masih belum memadai sehingga pada saat produksi perikanan melimpah, harga ikan akan jatuh begitu sebaliknya, saat hasil tangkapan menurun, harga akan melambung tinggi.

"Ini menyebabkan tidak adanya jaminan baik bagi nelayan maupun pengusaha dalam suplai bahan baku dan stabilisasi harga karena tidak ada sistim penyimpanan yang mampu menstabilisasi produksi pada saat paceklik maupun `booming`," ujarnya.

Untuk mengatasi kedua kendala pokok ini, Hasanuddin Atjo yang juga ketua Shrimp Club Indonesia Wilayah Sulawesi itu mengemukakan bahwa fungsi pemberdayaan dari pemerintah harus ditingkatkan.

"Kendala kita menghadapi AEC bahkan pasar global dewasa ini sebenarnya bukan pada aspek perikanan itu sendiri tetapi lebih pada aspek pemberdayaan," ujarnya.

Pemerintah, katanya, harus lebih banyak lagi mengintervensi sektor ini dengan penyediaan infrastruktur dasar seperti pelabuhan laut, udara, jalan, air bersih dan listrik.

Usaha sektor perikanan ini, katanya, jangan lagi dianggap sebagai usaha yang berisiko tinggi (high risk) tetapi usaha yang `high calculate`. Artinya, bila nelayan dan pengusaha dibina dengan baik dalam menjalankan sistim produksi dan bisnis, maka sektor ini akan selalu menguntungkan sehingga tidak perlu dikhawatirkan terutama oleh sektor perbankan.

Dengan berubahnya paradigma ini, kata Hasanuddin yang juga pengusaha udang itu, maka pelaku usaha agro dan kelautan diharapkan menjadi mandiri dan berdaya saing.

Ia juga menilai bahwa regulasi dan pemberian insentif sudah saatnya diseimbangkan antara kawasan barat dan timur Indonesia agar terjadi pemerataan.

Regulasi pelabuhan bongkar muat, katanya, tidak hanya di kawasan barat (Jakarta dan Surabaya saja), tetapi sudah harus diperlebar ke kawasan timur (Makassar dan Bitung) agar tercipta efisiensi, karena antre bongkar-muat dapat dikurangi serta mengurangi biaya bolak-balik dari kawasan barat ke timur yang tidak perlu.

"Kalau daya saing ini bisa dibenahi, maka Indonesia akan menjadi pemain utama di sektor kelautan dan agro dalam AEC 2015 mendatang karena potensi yang dimiliki Indonesia pada kedua sektor ini tidak bisa ditandingi oleh negara manapun di Asean," ujarnya. (R007/R010)