Strategi Membangun Sektor Agro-Kelautan Hadapi AEC (1)

id hasanuddin atjo

Strategi Membangun Sektor Agro-Kelautan Hadapi AEC (1)

Kadis KP Sulteng Hasanuddin Atjo memperlihatkan maket tambak udang supra intensif yang akan dibangunnya di Kelurahan Kayumalue Palu dengan investasi miliaran rupiah. Teknologi supra intensif temuanya ini akan menjadi unggulan dalam menjadikan daerah ini sebagi penghasil udang penting di Indonesia (A

Pemerintah maupun pelaku usaha harus mampu memberikan garansi bahwa usaha di sektor agro dan kelautan adalah usaha yang 'high calculate' bukan 'high risk' seperti yang terbangun di Malaysia, Thailand dan Vietnam."
Palu (antarasulteng.com) - Kesepakatan Asean Economic Community (AEC) atau perdagangan bersama masyarakat Asia Tenggara tidak dapat ditawar lagi setelah tertunda beberapa kali dan akan diberlakukan secara utuh pada Desember 2015.

Di satu sisi kesepakatan ini akan memperbesar peluang Indonesia memasarkan produk agro dan kelautannya ke negara Asean lainnya, namun sebaliknya dapat saja negeri ini justru menjadi tujuan pasar produk agro, bahkan investasi dan tenaga kerja dari sesama negara Asean.

Tentunya kita berharap bahwa kesepakatan itu akan menjadikan Indonesia sebagai pemain utama, bukan sebaliknya sebagai penonton mengingat negeri ini memiliki sejumlah keunggulan komparatif di antaranya penduduk terbesar di Asean serta potensi sumberdaya sektor agro dan kelautan yang tak tertandingi.

Namun semua ini akan berpulang kepada pertanyaan; bagaimana kesiapan dan upaya kita meningkatkan daya saing produk agro dan kelautan termasuk sumberdaya manusia pada sisa waktu sekitar 20 bulan lagi?.

Mc.Kinsey (2012), seorang ekonom dunia mengatakan bahwa kekuatan negeri ini sesungguhnya terletak pada sektor agro (pertanian pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan dan kehutanan) serta kelautan. Bila negeri ini mampu memanfaatkan potensi kedua sektor ini secara terencana dan berkelanjutan, maka di tahun 2030 kekuatan ekonomi Indonesia diprediksi akan berada di urutan tujuh dunia.

Sejalan dengan itu Rokhmin Dahuri (2013), seorang pakar kelautan yang dimiliki Republik ini mengemukakan bahwa ada 11 kegiatan ekonomi yang dapat dimanfaatkan dari sektor kelautan yakni (1) Perikanan Budidaya, (2) Perikanan Tangkap, (3) Industri pengolahan hasil perikanan, (4) Industri bioteknologi, (5) Industri pariwisata bahari, (6) Pertambangan dan energi, (7) Perhubungan laut, (8) Industri dan jasa maritim, (9) Sumberdaya wilayah pulau kecil, (10) Coastal forestry (hutan mangrove), dan (11) Non-conventional resources.

Selanjutnya dikatakan bahwa nilai ekonomi sektor Kelautan ini setiap tahunnya adalah sebesar US$ 1,2 triliun atau Rp9.800 triliun dengan kata lain sebesar 7 kali nilai APBN 2012 dan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 60 juta orang.

Melihat analisis ini tentunya memberi keyakinan kepada kita dan semua orang bahwa Republik ini akan menjadi sebuah "raksasa ekonomi dunia" jikalau mampu memanfaatkan potensinya secara terencana dan berkelanjutan.

Akan tetapi realitas menunjukkan bahwa daya saing produk agro dan kelautan kita saat ini masih tertinggal dari beberapa negara Asean lainnya yang antara lain diindikasikan dengan impor pangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis bahwa sepanjang Januari 2014 nilai impor pangan kita sebesar US$ 176, 8 juta (sekitar Rp2,033 triliun). Impor tersebut terdiri atas beras 31.729 ton senilai US$ 14,4 juta berasal dari Thailand, Vietnam, Myanmar, India dan AS.

Impor kedelai mencapai 149.000 ton senilai US$ 86,1 juta berasal dari AS, Ukraina, Kanada, Etopia dan Malaysia. Impor garam dari Australia, India, Selandia Baru dan Jerman sebesar 278.000 ton senilai US$ 13,4 juta.  Republik ini juga mengimpor susu sebanyak 12.000 ton senilai US$ 54,6 juta dari AS, Australia, Kanada dan Selandia Baru. Teh sebanyak 1.134 ton senilai US$ 1,4 juta dari India, Vietnam, Srilanka, Kenya dan Inggris.     Begitu pula pula dengan kopi yang diimpor dari Vietnam, Thailand, AS dan Italia sebanyak 985 ton senilai US$ 2,2 juta.

Tidak hanya itu, bumbu dapurpun juga masih diimpor seperti cabai sejumlah 1.152 ton dengan nilai US$ 1,6 juta dari Tiongkok, Thailand dan Pakistan. Demikian pula dengan bawang merah dimasukkan dari Thailand dan Vietnam sebanyak 6.247 ton senilai US$ 3,1 juta.

Selain itu masih sering dikeluhkan oleh pelaku usaha hulu maupun hilir di sektor ini bahwa produktivitas tenaga kerja kita kalah dibanding tenaga dari negara Asean lainnya. Belum lagi perilaku tenaga kerja yang sering menuntut berlebihan serta melakukan aksi demo yang kesemuanya dipandang menghambat upaya peningkatan daya saing.

Meningkatkan Daya Saing

Data dan fenomena yang dikemukakan di atas tentunya memprihatinkan dan menjadi tantangan bersama untuk meningkatkan daya saing sehingga negeri ini dapat menjadi pemain utama pada era AEC 2015.

Ada lima faktor utama yang menyebabkan daya saing produk kita tertinggal antara lain (1) Belum efisien dan efektifnya sistem produksi komoditas agro dan kelautan. (2) Belum memadainya dukungan infrstruktur dasar (pelabuhan laut-udara, jalan, air bersih dan listrik), (3) Usaha agro dan kelautan oleh perbankan dipandang sebagai usaha 'high risk' belum menjadi 'high calculate' (4) Pelaku usaha dan tenaga kerja kita umumnya masih berparadigma 'profit oriented' belum 'market oriented' dan (5) Minimnya implementasi regulasi, intervensi dan insentif yang berpihak dalam pengembangan sektor agro dan kelautan.

Meningkatkan produktivitas yang diakhiri dengan memproduksi produk bernilai tambah yang bermutu merupakan upaya memperbaiki sistem produksi.

Pengembangan Inovasi dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia menjadi kunci, sehingga dibutuhkan dukungan pembiayaan yang memadai serta proses transformasi yang berkelanjutan.

Pelaku usaha dari sekala UMKM sampai sekala besar sudah harus berubah paradigmanya dari 'profit oriented' ke 'market oriented', maksudnya produk yang yang dihasilkan sudah disesuaikan dengan keinginan pasar, sehingga dituntut kreativitas dan inovasi serta tidak lagi menjadikan pelaku usaha yang selalu minta disubsidi bila terjadi penurunan harga produk.

Dengan berubahnya paradigma ini maka pelaku usaha agro dan kelautan diharapkan menjadi mandiri dan berdaya saing. Perubahan paradigma ini harus terjadi pada seluruh stakeholders.

Peningkatan kualitas maupun kuantitas sejumlah infrastruktur dasar tidak boleh ditawar lagi, karena akan mempengaruhi daya saing melalui perbaikan sistem logistik dan transportasi.

Strategi subsidi untuk beberapa program sudah harus dikurangi agar tersedia anggaran yang cukup untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur dasar.

Berdasarkan catatan Bank Dunia (2011) bahwa Indeks Kinerja Logistik (IKL) Indonesia di tahun 2010 berada di peringkat 75 dunia di bawah Singapura (peringkat 2), Malaysia (peringkat 29), Thailand (peringkat 35), Filiphina (peringkat 44) dan Vietnam (peringkat 53). Negeri ini hanya unggul dari Laos dan Kamboja.

Catatan lain bahwa sistem logistik di Republik ini mengambil porsi sebesar 14,08 persen dari rata-rata biaya produksi yang seharusnya hanya 7 persen.

Kemudahan akses pembiayaan sudah harus ditingkatkan. Untuk perbaikan ini bukan hanya menjadi tugas lembaga keuangan tetapi semua komponen terkait.

Pemerintah maupun pelaku usaha harus mampu memberikan garansi bahwa usaha di sektor agro dan kelautan adalah usaha yang 'high calculate' bukan 'high risk' seperti yang terbangun di Malaysia, Thailand dan Vietnam.

Pemerintah di negara tersebut bersama dengan pelaku usaha sangat serius mengembangkan inovasi-inovasi di sektor agro dan kelautan, sehingga lembaga keuangan juga punya rasa percaya diri memberikan fasilitas pinjaman karena adanya sejumlah garansi inovasi.

Selain itu lembaga keuangan di negeri ini juga harus segera merevitalisasi dirinya sehingga tercipta efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaan lembaganya yang kemudian akan berdampak kepada kemampuan memberikan suku bunga pinjaman yang lebih rendah.

Regulasi dan pemberian insentif sudah saatnya diseimbangkan antara kawasan barat dan timur agar terjadi pemerataan. Regulasi pelabuhan bongkar muat tidak hanya di kawasan barat (Jakarta dan Surabaya saja), tetapi sudah harus diperlebar ke kawasan timur ( Makassar dan Bitung) agar tercipta efisiensi, karena antre bongkar-muat dapat dikurangi serta mengurangi biaya bolak-balik dari kawasan barat ke timur yang tidak perlu.

Selain itu perlu adanya insentif bagi investor yang ingin berinvestasi di kawasan timur Indonesia dapat juga menjadi pemicu terbangunnya daya saing.    *Penulis adalah Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah.