Pilpres 2014, Pesta Demokrasi Paling Seru

id Pilpres, Jokowi, Prabowo

Pilpres 2014, Pesta Demokrasi Paling Seru

Moehtar Marhum dalam sebuah dialog di TVRI Sulteng. (dokumenfb)

Masyarakat yang pernah terbelah dengan sikap politiknya yang berbeda harus bersatu untuk menjadikan Indonesia bangkit dan kemudian siap berubah menjadi Indonesia Hebat.
Sejak reformasi dan dibukanya keran demokrasi seluas-seluasnya, banyak politisi potensial harus bersyukur karena mereka bisa bikin partai. Terbukti ada beberapa partai yang lahir di masa reformasi dan berhasil menarik simpatik masyarakat. Bahkan ada yang menjadi partai penguasa (the rulling party) seperti Demokrat dan ada yang mendapat kenaikan elektabilitas (jumlah suara) yang sangat fantastik dalam pemilihan umum legislatif tahun ini seperti Garindra. 

Seharusnya kita semua bersyukur kepada aktivis pro-demokrasi yang telah berjuang mengorbankan pikiran, tenaga bahkan jiwa raga mereka untuk membawa bangsa ini keluar dari sistem yang membelenggu kebebasan politik dan berbagai kreativitas masyarakat untuk bisa berkembang maju.

Jokowi-JK terpilih jadi Presiden RI ke 7 dan telah ditetapkan KPU RI. Terpilihnya Jokowi-JK sebaiknya menjadi inspirasi politik bagi kepala-kepala daerah yang punya reputasi dan rekam jejak yang baik untuk mengikuti jejak Jokowi dan dinominasikan jadi calon pemimpin di tingkat nasional bahkan menjadi figur Capres dan Cawapres. 

Jokowi yang dalam karir politik dan birokrasinya pernah menjabat Wali Kota  Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Hal yang sama juga terjadi di beberapa negara di mana mantan wali kota dan gubernur pernah terpilih jadi presiden. Di Indonesia banyak kepala daerah yang sukses memimpin daerah dan mereka sangat berpotensi untuk diorbitkan jadi Capres-Cawapres ke depan.

Sudah 16 tahun bangsa Indonesia menikmati iklim Demokrasi dan Reformasi pasca hijranya bangsa ini dari sistem oligarki ke era remokrasi. Sudah tiga kali dilaksanakan pemilihan langsung dengan berbagai suka dan duka, peluang dan tantangan dihadapi. 

Sejak pertama kali diterapkan demokrasi langsung dalam pemilihan presiden di Indonesia 2004 dan kemudian 2009, pilpres telah berjalan lancar dan tertib. Masyarakat sangat antusias menyambut pesta demokrasi walaupun pada masa itu tingkat partispasinya dianggap relatif lebih rendah dibandingkan Pilpres 2014.

Pada 2004, ada empat pasang Capres-Cawapres yang mengikuti kontestasi. Pada 2003, ada tiga pasang Capres-Cawapres dan tahun 2014 hanya ada 2 pasang Capres-Cawapres. Pilpres tahun 2014 diklaim sebagai Pilpres yang tingkat partisipasi pemilihnya cukup tinggi termasuk Pilpres yang diselenggarakan di luar negeri tingkat partisipasi justru meningkat sangat signifikan dan juga dilaporkan pemilih yang dulu pernah mengambil sikap Golput tahun ini justru ikut berpartisipasi dalam Pilpres.

Dari sejarah demokrasi langsung, Pilpres kali ini dianggap cukup unik dan termasuk paling rumit (complicated) serta penuh dinamika politik kompetisi dan tantangan cukup berat. Pilpres kali ini yang hanya diikuti dua pasang Capres-Cawapres tapi justru dirasakan cukup membingungkan masyarakat dan membuat stakeholders penyelenggara Pemilu mengalami tantangan dan kesulitan. Mulai dari tahapan kampanye berbagai insiden.

Masyarakat terbelah dan ketegangan sempat terjadi ketika hasil quikc count pasca Pilpres 2014 yang dirilis oleh delapan lembaga survey kredibel lalu dikacaukan empat lembaga survey lainnya. Ketegangan akhirnya teratasi dengan sikap bijak untuk menanti hasil keputusan perhitungan resmi real count oleh KPU Pusat. Juga suasana yang cukup unik dan kontroversial ketika sejumlah media yang ikut meliput dan melaporkan kegiatan kampanye pilpres dan moment pilpres didominasi sejumlah media yang diidentifikasi sebagai media mainstream versus media abal-abal. 

Sejumlah media juga ada yang larut ke dalam peran mereka ada yang dianggap bahka sudah melanggar kode etik jurnalistik dan UU Pers. Selama kampanye juga diwarnai dengan beredarnya sejumlah instrumen propaganda politik dalam bentuk kampanye hitam yang disebarkan liwat Tabloid Obor rakyat dan Tabloid Sapu Jagad. Tabloid ini dianggap bukan produk jurnalistik karena content-nya justru tidak sesuai kode etik jurnalistik dan melanggar UU Pers.

Pemandangan berbeda dan kontroversial ketika Capres Prabowo menolak hasil Pilpres dan sekaligus menarik sejumlah saksinya dalam tahapan pleno KPU. Namun, menurut Komisoner KPU Hadar Nafis Giami dan Pakar Hukum Tata Negara UI, Refly Harun dan Prof. Sadly Isra, sikap menolak hasil Pilpres oleh Kubu Prabowo tidak akan menghentikan kegiatan perhitungan suara dan tidak akan mengurangi legitimasi agenda pleno KPU. Pleno KPU akan terus berlangsung dan pengumuman hasil pemenang Pilpres juga akhirnya dilaksanakan semalam. 

Yang jelas dari hasil Pilpres tersebut telah terbukti bahwa ada lebih banyak jumlahnya masyarakat yang menginginkan Jkw-JK memimpin negeri ini karena mereka mungkin telah sadar dan menginginkan Indonesia harus berubah menjadi Indonesia baru bukan Neo Orde Baru.

Sikap kubu Prabowo yang menarik diri dari proses lanjut rekapitulasi perhitungan suara karena menganggap telah terjadi kecurangan justru oleh ketua MPR dan Ketua Umum PP Ansor menganggap sikap Prabowo tidak pantas. Justru kenyataan di lapangan selama kampanye Pilpres dan pasca pencoblosan dilaporkan oleh sejumlah media justru yang paling banyak jadi korban fitnah dan korban kecurangan  berlangsung justru pada kubu pasangan No.2 Jkw-Jk.

Kasus tersebut sangat memalukan terjadi di alam Demokrasi. Kini disaat agenda pleno berlangsung sikap anomali ditunjukkan dan sikap tersebut justru hanya menambah catatan track record buruk dari seorang Capres yang mengaku berjiwa besar. Sikap menarik diri tersebut juga justru telah mempertontonkan kelemahannya dan watak aslinya yang selama ini ditutup-tupi.

Ke depan seleksi Capres harus lebih ketat lagi dan jangan sekali-kali meloloskan Capres yang tidak layak ikut kontestasi karena terindikasi punya sikap ambisius, arogan dan tidak ksatria, suka mencla mencle dan hanya mau menerima kemenangan tapi ironisnya menolak kekalahan dengan alasan dan argumentasi yang masih perlu dibuktikan lebih lanjut di MK. 

Indonesia butuh figur pemimpin yang ksatria yang menempatkan kepentingan bangsa ini di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Agenda pilpres sejak tahapan awal sampai pleno KPU disaksikan tidak hanya masyarakat Indonesia di dalam negeri tapi juga disaksikan secara luas oleh masyarakat dunia melalui berbagai media. Sikap elit-elit Kubu pasangan No. 1 yang menarik diri dari rapat pleno rekapitulasi suara hasi Pilpres justru akhirnya membuka mata masyarakat dunia dan mereka akhirnya mereka makin tahu watak asli calon pemimpin yang mencla mencle. 

Masyarakat dunia tahu siapa yang punya komitmen melaksaknakan agenda demokrasi dengan benar dan pihak mana yang menabrak mekanisme pilpres dan tidak menghormati prinsip demokrasi, baik itu demokrasi prosedural maupu demokrasi substantif. Agenda keputusan pleno KPU hanya bisa dibatalkan melalui mekanisme hukum liwat gugatan di Mahkamah Konstitusi bukan dengan cara yang tidak kesatria dan menabrak mekanisme pilpres dan tidak menghormati agenda pleno KPU yang telah ditetapkan.

Sunggu malu aku disaksikan oleh masyarakat dunia agenda demokrasi di Indonesia dicedrai oleh elit-elit yang tidak legowo menerima hasil Pilpres. Mereka menunjukkan sikap tidak mau secara ksatria menerima kenyataan hasil Piplres. Padahal mereka pernah berkata tunggu hasil Pilpres yang disahkan KPU dan juga Prabowo pernah bilang bahwa dia akan menerima apapun hasil Pilpres yang akan diumumkan.

Pilpres 2014 termasuk berjalan lancar dan sukses walaupun di sana-sini terdapat kekurangan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus mendapat apresiasi dari berbagai pihak karena berhasil mencairkan suasana ketegangan Pilpres. Dan demikian juga lembaga penyelengga Pemilu KPUD, KPU, Panwaslu dan Bawaslu serta semua stakeholders penyelenggara Pemilu termasuk semua pihak petugas keamanan juga harus diapresiasi atas kerja keras mereka yang berhasil menggelar pesta Demokrasi dan mengamankan jalannya Pilpres 2014. 

Kini hasil Pilpres telah ditetapkan dan tinggal menunggu tahapan sengketa Pilpres di MK jika kubu Prabowo-Hatta jadi mengajukan gugatan. Dan setelah itu sisa menyambut tahapan akhir yang menggembirakan dan merupakan etape klimaks dari proses demokrasi prosedural dalam agenda pelantikan Pilpres Oktober 2014. 

Saatnya semua pihak meninggalkan simbol-sombol partisan yang memicu ketegangan dan sikap kurang bersahabat. Tinggalkan simbol Nomor 1 dan Nomor 2, lalu ganti dengan nomor 3 yaitu Persatuan Indonesia. Masyarakat yang pernah terbelah dengan sikap politiknya yang berbeda harus bersatu untuk menjadikan Indonesia bangkit dan kemudian siap berubah menjadi Indonesia Hebat. 

Kemenangan Pilpres 2014 adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Akhirnya jabat erat selalu dan salam 5 jari untuk Indonesia Raya.

Penulis: Akademisi dari Universitas Tadulako, Aktivis Damai dan Blogger Isu Sosial Humaniora