Kota Gaza (ANTARA News) - Semua yang bisa diingat oleh Yasmin Al-Bakri,
anak perempuan yang berusia 11 tahun, ialah ibunya sedang memanggang
roti.
Lalu ia terbangun di ranjang satu rumah sakit di Kota Gaza. Kedua
kaki dan lengan kanannya dibalut dan ia menderita luka bakar parah serta
tulang patah setelah rumahnya jadi korban serangan udara Israel.
Ia juga mengetahui bahwa ia telah kehilangan semua anggota keluarganya.
Yasmin selamat, tapi jumlah yang dikeluarkan oleh UNICEF --Dana Anak
PBB-- pada Rabu (6/8) memperlihatkan 419 anak Palestina telah menemui
ajal. Lima tahun lalu, sebanyak 350 anak meninggal akibat serangan darat
tiga-pekan Israel ke daerah kantung tersebut.
Sedikitnya enam anak Israel dilaporkan cedera akibat roket yang
ditembakkan dari Jalur Gaza dalam satu bulan belakangan, demikian jumlah
awal yang disiarkan UNICEF.
Yasmin mengatakan ia diberitahu bahwa ibunya, adik perempuannya
--yang berusia enam tahun-- dan adik lelakinya, yang berumur tiga bulan,
tewas bersama pamannya dan sepupunya ketika satu rudal Israel
menghantam rumah mereka dua hari sebelumnya.
Sejak itu, Jalur Gaza telah tenang, saat Paleatina dan Israel
melaksanakan gencatan senjata 72-jam, yang diharapkan akan mengarah ke
gencatan senjata yang lebih lama setelah perang yang telah
memporak-porandakan daerah kantung yang berpenduduk padat tersebut.
"Saya sedang membantu ibu saya, saat ia memanggang roti. Lalu saya
tidak tahu apa yang terjadi. Ketika saya terbangun di rumah sakit mereka
memberitahu saya apa yang terjadi," kata Yasmin kepada Reuters saat ia
tengah disiapkan untuk menjalani operasi tulangnya lengannya yang patah.
"Ibu saya meninggal, adik perempuan saya --yang mestinya mulai
sekolah di kelas satu, adik lelaki saya yang masih bayi. Paman saya juga
gugur dan sepupu saya juga," kata Yasmin dengan suara perlahan saat ia
berjuang menarik nafas.
Serangan militer
Kementerian Kesehatan di Jalur Gaza menyatakan 1.869 orang
Palestina, kebanyakan warga sipil, telah tewas dalam serangan militer
Israel terhadap Jalur Gaza. Di pihak Israel, 64 tentara dan tiga warga
sipil telah mati.
Di ranjang lain di Rumah Sakit Shifa di Jalur Gaza, Mohammed Wahdan
(18 bulan), menangis setiap kali sepupunya berusaha menarik jarinya dari
tangan bocah lelaki itu.
"Anak-anak ini kehilangan ibu mereka, ayah mereka menderita luka
kritis dan dibawa ke rumah sakit lain, rumah mereka juga hancur," kata
Ahlam Wahdan --sepupu Mohammed. Ia merujuk kepada dua anak lelaki
kakak-beradik yang terbaring di ranjang di sebelah dia.
Keluarga tersebut --yang berasal dari Kota Kecil Beit Hanoun di
perbatasan utara Jalur Gaza dengan Israel-- berlindung di tempat
penampungan PBB setelah rumah mereka dibom. Tapi sekolah itu pun dibom
dan 17 orang yang mengungsi di sana kehilangan nyawa.
Ia menyatakan negara Yahudi itu "menembaki gerilyawan Palestina".
"Keluarga tersebut kemudian menyewa rumah di kamp pengungsi Jabalya
tapi pada malam itu juga, rumah tersebut dibom dan tragedi pun terjadi,"
kata Ahlam kepada Reuters.
Di luar Rumah Sakit Shifa, banyak keluarga yang kehilangan tempat
tinggal akibat agresi militer Israel di Kabupaten Shejaia di bagian
timur Jalur Gaza, tempat 72 orang tewas dua pekan sebelumnya,
menggunakan selimut untuk membuat tenda sementara di trotoar, di taman
dan di tempat parkir mobil.
Anak-anak bermain dengan bertelanjang kaki, sebagian tidur di bawah
bayang-bayang tenda mereka dan yang lain sedang diberi makan oleh ibu
mereka.
"Masa depan apa yang dimiliki anak-anak itu? Kenangan apa yang telah
ditanamkan Israel di dalam diri mereka?" demikian pertanyaan seorang
perempuan tua yang duduk di dekat mereka.
"Anak-anak ini ketakutan sepanjang waktu, mereka tak bisa tidur dan
kadang-kala mereka terbangun pada tengah malam sambil menangis," kata
perempuan tua itu.
UNICEF memperkirakan hampir 400.000 anak di Jalur Gaza memerlukan bantuan psikologi.
Sementara itu, Yasmin tak mau menangisi hilangnya keluarganya.
"Mereka ada di surga," kata gadis kecil tersebut. "Saya harus bersabar."
(Uu.C003/skd)
Derita Anak-Anak Di Jalur Gaza
Anak-anak ini ketakutan sepanjang waktu, mereka tak bisa tidur dan kadang-kala mereka terbangun pada tengah malam sambil menangis