Smelter Pertama Di Sulteng Beroperasi 2015

id nikel

Smelter Pertama Di Sulteng Beroperasi 2015

Sejumlah truk melakukan pengurukan pantai sementara di tengah laut berlangsung aktivitas pengangkutan bahan baku Nikel (ore) milik perusahaan tambang nikel di Desa Tambia, Pomala, Kab. Kolaka, Sultra. Selasa (27/7). (FOTO ANTARA/Zabur Karuru)

...dengan mengolah sendiri di dalam negeri kita bisa mendapat keuntungan 17 kali lebih tinggi dibanding kita mengekspor bahan mentah
Palu,  (antarasulteng.com) - Pabrik permurnian (smelter) nikel pertama di Sulawesi Tengah akan beroperasi 2015 dengan kapasitas produksi 300 ribu ton nikel per tahun di Kabupaten Morowali.

"Pembangunan fase pertama sudah berlangsung dengan realisasi pembangunan fisik sekitar 70 persen. Diperkirakan 2015 sudah beroperasi," kata Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tengah Bambang Sunaryo di Palu, Senin.

Smelter yang dibangun oleh PT Bintang Delapan Minerals tersebut membutuhkan investasi sekitar 636 juta USD.

Menurut Bambang, beroperasinya perusahaan tersebut akan memudahkan pemegang izin usaha pertambangan di Morowali dan sekitarnya karena sudah ada industri yang dapat mengolah nikel mentah menjadi nikel murni.

"Sebab hasil penelitian menunjukkan dengan mengolah sendiri di dalam negeri kita bisa mendapat keuntungan 17 kali lebih tinggi dibanding kita mengekspor bahan mentah," katanya.

Bambang mengatakan salah satu keunggulan dari pengolahan yang dibangun Bintang Delapan Minerals tersebut memadukan skema pengelolaan dari hulu sampai hilir.

"Di sana nanti akan menjadi kawasan khusus industri nikel," katanya.

Ia mengibaratkan di kawasan tersebut nantinya sekaligus dibangun industri hilirnya sehingga kegiatan ekspor nikel murni tidak lagi menjadi dominan karena banyak yang sudah menjadi barang jadi.

"Ini sangat menguntungkan kita," katanya.

Menurut Bambang, perusahaan tambang itu juga akan membangun lagi smelter tahap kedua dengan kapasitas 600 ribu ton per tahun sehingga kapasitas total akan mencapai 900 ribu ton per tahun.

"Coba hitung berapa besar row material dari 900 ribu ton itu. Kalau itu yang diekspor berapa banyak kerugian kita karena dalam material itu juga kemungkinan mengandung besi dan unsur mineral lainnya," katanya.(skd)