Umpan Silang Para Perajut Persaudaraan Sejati

id agama

Umpan Silang Para Perajut Persaudaraan Sejati

KI-ka)Pemuka Agama I Nyoman Udayana Sangging, Romo Frans Magnis Suseno, Solahuddin Wahid, Andreas A. Yewanggoe, Ahmad Syafii Maarif, dan Biksu Pannyavaro saat menyampaikan pernyataan publik tokoh agama di Jakarta, Senin ( 10/1). (ANTARA/ Ujang Zaelani)

Suara Ahmad Syafi'i Ma'arif makin parau setelah beberapa saat berbicara dalam Kongres Persaudaraan Sejati Lintas Iman di kompleks Museum Misi Muntilan, Magelang, Sabtu (25/10).

Diam-diam Biksu Sri Pannyavaro Mahathera yang duduk di kirinya menuangkan air mineral dari botol ke gelas di depan Buya Syafi'i.

Seketika Buya Syafi'i menghentikan pembicaraan tentang arti penting semangat persaudaraan, kemanusiaan, dan peradaban dengan referensi nilai-nilai ke-Islaman universal.

Sambil melirik gelas yang telah berisi air, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah itu menengok ke arah biksu tua berjubah kuning keemasan yang tersenyum.

Ratusan peserta kongres yang berkumpul di aula SMA Van Lith Muntilan langsung bertepuk tangan bersama-sama begitu Buya Syafi'i menyatakan, "Inilah persaudaraan sejati itu."

Buya Syafi'i, yang menyapa Biksu Pannyavaro dari Wihara Mendut dengan sebutan "Jejaka dari Mendut" saat mengawali pembicaraan, lalu melanjutkan bicara.

"Agama jika dipahami secara benar dan jujur pasti dapat menjadi sumber pertama dan utama untuk merajut persaudaraan sejati bagi umat manusia," katanya.

"Tetapi, agama yang dipahami secara dangkal, kemudian disalahgunakan bisa pula menjadi sumber malapetaka yang dahsyat yang dapat memorakporandakan perumahan kemanusiaan sejagat," tambah dia.


Giliran Sang Biksu

Ketika sampai giliran Biksu Pannyavaro untuk berbicara, ia menceritakan bagaimana Ketua Panitia Kongres Romo Aloysius Budi Purnomo memintanya menjadi pembicara dalam kongres yang berlangsung 24-26 Oktober 2014 tersebut.

"Romo Budi datang ke Mendut. Beliau minta saya datang berbicara dalam kongres ini."

"Romo Budi minta saya membuat makalah, saya bilang tidak bisa membuat makalah. Lalu saya 'dipaksa', 'Pokoknya Bante hadir'," ungkap Sang Biksu mengutip perkataan Romo Budi ketika menemuinya di Wihara Mendut di Mungkid, Magelang.

Ia lantas berkelakar soal buku panduan untuk peserta kongres yang antara lain berisi riyawat seseorang bernama Husodo (Ong Tik Tjong) yang mengambil nama Sri Pannyavaro Mahathera sejak menjadi biksu.

"Saya tidak bertanggung jawab terhadap makalah itu," kata Sang Bante.

Romo Budi yang menjadi moderator dialog pada hari kedua kongres tersenyum-senyum mendengar "sindiran" Biksu Pannyavaro. Hadirin pun ikut tertawa gembira dan bertepuk tangan.

Biksu Pannyavaro, yang katanya cuma ingin bicara "ngalor ngidul" di kongres, lantas berbicara soal Buya Ma'arif.

Dia menyebut "Buya itu orang tua sendiri" dan mengatakan bahwa persaudaraan yang dibangun oleh Buya Syafi'i tidak menuntut dan autentik.

Bante Pannyavaro juga menuturkan tentang kunjungan Buya Syafi'i ke Wihara Mendut suatu siang. Ketika azan zuhur bergema ia menyadari bahwa Buya Syafi'i harus shalat.

"Saya harus mengatakan kepada Beliau bahwa di Wihara ini tidak ada sajadah. Tetapi Buya menjawab, 'Bumi ini sajadah kita'. Sejak itu persaudaraan kami makin tumbuh besar dan berkembang sampai sekarang," katanya.

Dalam kongres yang dihadiri sekitar 800 orang dengan berbagai agama dan kepercayaan itu, dia juga menegaskan pernyataan Buya Syafi'i bahwa mereka yang pandangan dan perilakunya merusak persaudaraan sejati merupakan orang-orang yang "merasa benar di jalan sesat".

Bante Pannyavaro juga mengingat semangat persaudaraan KH Abdurrahman Wahid, yang ketika menjadi presiden selalu menanyakan kehadiran Biksu Pannyavaro dalam beberapa acara lewat ajudannya.

"Satu kata itu, membangun persaudaran sejati," kata Biksu Pannyavaro.

Ia juga bertutur tentang sopir pribadinya dalam 20 tahun terakhir. Sang sopir bernama Budi Wahyono itu, menurut dia, memahami ajaran Buddha dan Dharma.

"Dia tetap Muslim sampai sekarang. Tidak ada keinginan saya untuk menjadikan dia sebagai buddhis. Tetapi keinginan saya, dia menjadi Muslim yang baik. Mas Budi juga mengagumi Buya, sehingga saya minta ikut hadir dalam kongres ini," ujarnya.

Ia menyebut pertemuan, dan dialog sebagai momentum yang harus dimanfaatkan dengan baik oleh siapa saja untuk kepentingan bersama, perdamaian, dan persaudaraan sejati.

Ia juga mengatakan bahwa persaudaraan sejati lebih dari sekadar berbicara. Persaudaraan sejati dibangun dan dijalani melalui pertemuan yang tulus antarsesama manusia.

"Saat orang meninggalkan dan menanggalkan ego masing-masing, maka persaudaraan sejati itu akan terjadi. Alangkah indah persaudaraan sejati seperti ini," ucapnya.


Cara Sinta

Kisah tentang pengalaman dialogis membangun persaudaraan sejati, juga disampaikan oleh Sinta Nuriyah. Ia berusaha membangun persaudaraan lewat acara buka puasa dan sahur bersama setiap bulan Ramadhan.

Ia menggelar acara itu bersama Monsinyur Pujasumarta, yang ketika itu menjabat sebagai Uskup Bandung, di Pasar Kiara Condong. Ia juga bekerja sama dengan para biksu saat mengadakan acara sahur bersama korban luapan lumpur Lapindo di Porong, Jawa Timur.

Bersama Romo Budi Purnomo, dia juga menggelar acara lintas agama di Gereja Tanah Mas Semarang, dan menggelar acara semacam itu bersama para pemeluk Konghucu di sejumlah kelenteng.

"Termasuk bersama Sumanto," katanya.

Sinta Nuriyah sahur bersama Sumanto si manusia kanibal di pondok jiwa An'nur Desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Purbalingga, yang dikelola oleh KH Supono Mustajab pada pertengahan 2012.

Dalam Islam, katanya, persaudaraan sejati menjadi prinsip dan cermin sikap umat beriman.

Vikaris Jenderal Keuskupan Agung Semarang Romo F.X. Sukendar menyebut kongres itu menyatakan jejaring persaudaraan sejati lintas iman yang selama ini telah dibangun para pemuka agama dan kepercayaan.

Selanjutnya para peserta kongres sebagai pribadi serta bagian dari keluarga, komunitas, dan masyarakat akan mewartakan dan menularkan semangat perdamaian dan persaudaraan sejati tersebut. (skd)