Gambar Idoep dan Sejarah Bioskop di Donggala

id Donggala, Heritage, Kebudayaan, Pariwisata

Gambar Idoep dan Sejarah Bioskop di Donggala

Manajemen antarasulteng.com ikut serta mendukung dan mensukseskan Donggala Heritage2015 di Banawa. (Event Manager)

Sejarah bioskop di Kota Donggala kala itu adalah bagian dari sejarah panjang kejayaan pelabuhan di kota ini. Pelabuhan Donggala kala itu menjadi salah satu pelabuhan penting ketika Nusantara menjadi penyuplai 29 % kebutuhan kopra dunia saat terjadiny
Tulisan ini salah satu dari empat materi pada event Donggala Heritage 2015 23-25 Januari 2015. Satu dari empat materi tersebut yakni D’Screen. Materi kegiatan ini berupa pemutaran film pendek dan film panjang tempo doeloe yang pernah menjadi penanda kultural di Kota Donggala. Pemutaran film ini juga dimaksudkan sebagai upaya membangun kembali ingatan-ingatan tentang situasi sosial-ekonomi-kultural di Kota Donggala di masa lampau.
    
Pada tahun 1895, dua tahun sebelum Raja Banawa II, La Makagili Tomaidoda teken kontrak konsesi pertambangan dengan Belanda pada tahun 1897, sejarah film di dunia dimulai. Pada tahun 1895 itu Robert W. Paul dan Birt Acres mendemonstrasikan kamera film 35mm pada masyarakat di London lewat sebuah film pertama yang berjudul Incident at Clovelly Cottage.  

Hampir secara bersamaan, pada tanggal 28 Desember 1895 bertempat di Salon Indien du Grand Café, Lumière bersaudara juga memperkenalkan kamera film ciptaan mereka kepada publik di Paris. 

Tiga tahun setelah penanda tangan kontrak konsesi pertambangan antara Raja Banawa dan Pemerintah Hindia Belanda tersebut, masyarakat Hindia Belanda di Pulau Jawa pada tahun 1900 sudah bisa menyaksikan pertunjukan yang ajaib, gambar idoep.

Sejarah bioskop di Hindia Belanda tidak terpaut jauh dengan bioskop permanen pertama yang dibangun di Amerika. Vitascope Hall di Buffalo, New York adalah bioskop permanen pertama yang mulai beroperasi pada Oktober 1896. 

Dalam kurun waktu empat tahun setelah Vitascope Hall beroperasi, film telah diputar pula di Hindia Belanda pada tanggal 5 Desember 1900. Tempat pemutaran film pertama ini bukanlah di gedung bioskop, melainkan di kediaman seorang warga Belanda yang beralamat di Kebon Jahe, Tanah Abang, Batavia. 

Tempat ini kemudian berubah menjadi The Royal Bioscoope pada tanggal 28 Maret 1903. Dalam tahun yang sama, berdiri pula bioskop lainnya yaitu Elite, Deca Park, Capitol dan Rialto. 

Sejarah Bioskop di Donggala

Dalam sebuah buku penting tentang perfilman yang ditulis oleh Misbach Yusa Biran berjudul Sejarah Film 1900 - 1950 – Bikin Film di Jawa yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu dan Dewan Kesenian Jakarta  memuat sebuah catatan penting tentang keberadaan bioskop di Hindia Belanda. 

Dalam daftar bioskop di Hindia Belanda yang disusun bersama antara Gabungan Importir Film, Departemen Film Perusahaan Dagang Kian Gwan dan Tuan Weskin yang dirilis pada majalah Film Revue, Nomor 22, Maret 1936 mencatat bahwa terdapat 227 bioskop di Hindia Belanda saat itu. Apollo Theater (nomor 62), sebuah bioskop di Kota Donggala, juga tercatat dalam daftar tersebut.

Sejarah bioskop di Kota Donggala kala itu adalah bagian dari sejarah panjang kejayaan pelabuhan di kota ini. Pelabuhan Donggala kala itu menjadi salah satu pelabuhan penting ketika Nusantara menjadi penyuplai 29 % kebutuhan kopra dunia saat terjadinya Booming Kopra di tahun 1920 – 1939. 

Ramainya aktivitas perdagangan serta interaksi dengan wilayah lainnya di dunia melalui pelabuhan Donggala kala itu, juga mendorong perbaikan ekonomi masyarakat di kota pelabuhan ini. Bioskop kemudian menjadi salah satu pusat interaksi kultural penting antara awak kapal yang melabuhkan sauhnya di pelabuhan dengan penduduk Kota Donggala. 

Jamrin Abubakar dalam buku berjudul Donggala Donggalata’ – Dalam Pergulatan Zaman, mencatat hingga pertengahan dekade 1990-an di Kota Donggala masih beroperasi tiga gedung bioskop. 

Ketiga bioskop tersebut adalah Bioskop Megaria yang terletak di Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Banawa, Bioskop Muara yang terletak disimpangan jalan Mutiara dan Nuburi yang berdekatan dengan kawasan Pelabuhan Donggala dan Bioskop Gelora yang terletak di jalan Pettalolo. 

Keberadaan Bioskop Megaria, yang sebelumnya telah bernama Bioskop Express yang dibangun tahun 1949 dan beroperasi di tahun 1950 itu tidak hanya menjadi bagian dari sejarah kepelabuhanan namun juga menjadi penanda kultural bagi masyarakat di Kota Donggala. Masyarakat disekitar bangunan bioskop Megaria ini kemudian menamai jalan yang ada didepan bioskop tersebut sebagai Jalan Bioskop yang hingga kini masih digunakan.


D:Screen : Perayaan terhadap Sejarah Gambar Idoep di Donggala 

Merayakan sejarah bioskop sebagai salah satu penanda kultural, Dewan Kesenian Donggala sebagai inisiator dari pelaksanaan independen event Donggala Heritage 2015 menggelar kegiatan yang bertajuk D’Screen. 

Kegiatan yang berupa pemutaran film ini akan digelar pada hari Minggu, 25 Januari 2015 pukul 19:30 – 23:00 Wita bertempat di Donggala Art Space Jl. Mutiara No. 25 Kota Donggala. 

Yusuf Radjamuda, seorang film maker Kota Palu yang beberapa filmnya telah memenangkan beberapa penghargaan di berbagai festival film di Indonesia dan mancanegara menjadi programer pada kegiatan D’Screen ini. 

Film pendek karyanya yang berjudul Halaman Belakang telah diputar di Clermont, Vladivostok, Berlin, Vietnam dan beberapa negara lainnya. Dalam kegiatan yang menjadi bagian dari D’Heritage15 ini Yusuf Radjamuda memprogramkan pemutaran dua film pendek dan sebuah film panjang tempo doeloe yang pernah menjadi box office di bioskop Donggala. 

Film pertama yang ditayangkan dalam kegiatan ini berjudul PAOTERE yang disutradarai oleh Arfan Sabran. Film yang diproduksi tahun 2009 dengan durasi  22 menit ini berkisah tentang Reza (9 tahun) dan Arfah (12 tahun), anak-anak dengan tanggung jawab besar. 

Keduanya harus bekerja di pasar ikan, sejak fajar menyingsing hingga malam menjelang. Selain harus membantu orang tua menghidupi keluarganya, mereka juga punya mimpi-mimpi untuk diwujudkan.

Film kedua adalah film dokumenter berjudul MAAF BIOSKOP TUTUP yang disutradarai oleh Ardi Wilda Irawan yang berdurasi 18 menit. Film dokumenter yang diproduksi pada tahun 2010 ini berkisah mengenai Permata, salah satu bioskop tertua di Yogyakarta. 

Film ini yang pernah meraih penghargaan Audience Award pada Festival Film Dokumenter 2010 ini  menceritakan tentang masa kelahiran, kejayaan, hingga bioskop Permata itu menemui ajal, sebuah potret ketidakberdayaan di tengah himpitan modernitas. 

Film ketiga adalah sebuah film panjang tempo doeloe berjudul JUWITA yang disutradarai oleh S. Ramanathan dengan aktor utama Tan Sri P. Ramlee dan Kasma Booty. 

Film yang diproduksi oleh Malay Film Production Ltd. di tahun 1951 yang berdurasi sekitar 116 menit ini berkisah tentang kisah kasih Ramlee (Tan Sri P. Ramlee) dan Juwita (Kasma Booty). Ramlee yang berprofesi sebagai band master sebuah orkestra jatuh cinta pada Juwita yang buta. Kisah cinta mereka penuh dengan problema dan suka duka serta jalan berliku. Film khas melayu yang pernah menjadi trendsetter di Kota Donggala ini penuh dengan lagu dan musik.

Menurut Yusuf Radjamuda, kegiatan D’Screen ini semacam kickstart bagi pelaksanaan sebuah festival film di Kota Donggala yang bertajuk Donggala Cinema Festival yang rencana akan digelar di tahun 2015 ini.

Zulkifly Pagessa
Event Manager D’Heritage2015
Sekretaris Dewan Kesenian Donggala