Krisis Pangan dan Pentingnya Transformasi

id has atjo

Krisis Pangan dan Pentingnya Transformasi

Dr Ir H Hasanuddin Atjo, MP, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah (ANTARANews/Rolex Malaha)

....tersedianya transformator-transformator yang berdaya saing akan menjadi pendorong utama untuk terwujudnya program ketersediaan pangan.
Palu (antarasulteng.com) - KETERSEDIAAN PANGAN kini menjadi salah satu masalah di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Data yang dirilis Harian Kompas 5 Februari 2015 menunjukkan bahwa impor pangan negeri ini di tahun 2013 cukup mencengangkan yaitu senilai Rp436  triliun dan akan meningkat menjadi Rp1.500 triliun rupiah pada 2023, mendekati nilai APBN 2013, bila saja kita tidak berhasil melakukan upaya-upaya antisipatif yang telah dirancang sebelumnya.

Realitas menunjukkan bahwa sejumlah pengusaha kita lebih tertarik melakukan impor pangan ketimbang mengembangkan usaha produksinya di dalam negeri.  
Ketertarikan ini lebih dipicu oleh besarnya selisih harga jual komoditas itu meskipun negeri ini memiliki potensi sumberdaya alam untuk memproduksi pangan tersebut secara efisien.

Sebagai contoh harga daging sapi di Australia sebesar Rp45.000 per kg,  Malaysia Rp48.000 dan Indonesia hampir tiga kali lipat yaitu Rp125.000.

Kondisi ini tentunya juga menjadi salah satu penyebab munculnya beberapa kasus perdagangan daging ilegal yang menghebohkan itu. Masih banyak lagi komoditas pangan seperti kedelai, beras, gula, jagung, buah-buahan sampai kepada ikan yang harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan hampir 250 juta jiwa penduduk negeri ini.

Realitas ini tentunya menjadi tantangan dan sekaligus peluang usaha bagi anak negeri ini guna mengurangi ketergantungan pada impor.

Faktor ketersediaan

Ketersediaan teknologi yang terukur, sistem logistik dan distribusi yang efisien, regulasi dan intervensi Pemerintah yang berpihak dan konsisten serta kompetensi sumberdaya manusia yang sesuai, menjadi faktor penting terhadap keberhasilan program ketersediaan pangan dalam negeri.

Dari empat faktor tersebut, maka yang paling berperan terhadap keberhasilan ketersediaan itu adalah kompetensi sumberdaya manusia dan diprediksi bisa berkontribusi sampai 60 persen (Shuhaimi. Prof, 2014).

Ketersediaan teknologi dan sumberdaya manusia yang kompeten bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, sehingga keduanya dalam rancangan maupun implementasi program harus dijalankan secara paralel.

Contoh Amerika Serikat, dalam menghadapi krisis pangan mendatang saat ini  telah menyiapkan teknologi produksi pangan antara lain teknologi produksi  ikan air tawar yang spektakuler.

Teknologi ini hemat air karena menggunakan sistem resirkulasi dan memiliki produktifitas yang sangat tinggi yaitu 108 kg/ton air/tahun. Di negara paman Sam itu, teknologi ini juga mulai disosialisasikan kepada sejumlah pelaku usaha yang berminat, sehingga pada saatnya nanti teknologi ini dapat dikembangkan secara masif.
 
Dewasa ini telah banyak teknologi produksi pangan yang terukur dan dapat diakses dari dalam maupun luar negeri, namun yang menjadi persoalan bagaimana teknologi itu dapat tertransformasi kepada subjek pembangunan dalam hal ini petani, nelayan, pekebun, pengolah dan pemasar agar dapat berlangsung sukses sehingga dapat meningkatkan produksi pangan dan pendapatan secara berkelanjutan.

Transformasi dan transformator

Transformasi dalam konteks opini ini adalah proses dikuasainya teknologi produksi pangan oleh subjek pembangunan, sedangkan transformator adalah institusi atau orang yang mengantar/mendampingi teknologi itu sampai kepada subjek pembangunan.

Keberhasilan sebuah transformasi sangat ditentukan oleh kesiapan penerima teknologi dan kemampuan transformator. Ada tiga kasus yang ditemukan dalam proses transformasi yaitu (1) Penerima teknologi dan transformator belum siap; (2) Penerima teknologi belum siap dan transformator sudah siap; dan (3) Penerima teknologi dan transformator keduanya siap.  

Dalam realitasnya kasus pertama paling sering dijumpai, utamanya dalam mengimplementasikan program-program pemberdayaan yang terkait dengan pengembangan produksi pangan.

Menyiasati kondisi dan situasi seperti ini, maka skenarionya akan lebih panjang karena institusi yang terkait dengan program itu terlebih dahulu mempersiapkan transformatornya agar dapat menjadi pendamping atau penyuluh yang baik pada saat program itu diimplementasikan. Di beberapa negara maju di bidang pangan seperti Jepang, Korsel, Thailand dan Malaysia, untuk melahirkan transformator yang berdaya saing maka calon transformator dilewatkan dalam sebuah proses yang dinamakan 'Inkubator Transformator'.

Di Indonesia inkubator seperti ini idealnya ditangani oleh Pemerintah Pusat, oleh karena beberapa kementerian teknis seperti Kementrian Kelautan dan Perikanan; Kementrian Pertanian telah memiliki institusi setara dengan eselon satu yang bertanggung jawab terhadap Penelitian dan Pengembangan serta bertanggung jawab terhadap pengembangan sumberdaya manusia.
Kedua institusi eselon satu tersebut dapat berintegrasi membangun dan mengembangkan inkubator-inkubator Transformator di sejumlah daerah.

Sulawesi Tengah dan sektor Kelautan.

Keberhasilan pembangunan di sebuah wilayah antara lain ditentukan oleh visi, karena akan memberikan arah dan tujuan pembangunan dari wilayah itu.
Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi yang antara lain fokus kepada pembangunan pangan dengan visi 'Sejajar dengan provinsi maju di kawasan timur di bidang agribisnis dan kelautan melalui pengembangan sumberdaya manusia yang berdaya saing di tahun 2020.

Berdasarkan sejumlah kalkulasi yang telah ada menyatakan bahwa visi ini sangat relevan dengan tuntutan dan kondisi sumberdaya alamnya, sehingga sangat perlu dilanjutkan dan dikembangkan dengan memberi perhatian lebih kepada pengembangan sumberdaya manusia.

Keberhasilan pembangunan sektor Kelautan dan Perikanan di Sulawesi Tengah dalam berapa tahun terakhir ternyata tidak terlepas dari kemampuan dan keberhasilan mentransformasi teknologi dari sumbernya kepada subjek pembangunan dalam hal ini nelayan, pembudidaya, pengolah dan pemasar.
Terkait dengan itu, maka setidaknya terdapat dua program dari Sektor ini yang dipandang sukses oleh sejumlah kalangan termasuk Pemerintah pusat. Kedua program itu adalah (1) Program perikanan tangkap melalui bantuan kapal Inka Mina bagi nelayan dengan jumlah bantuan sejak 2011-2014 sebanyak 47 unit; dan (2) Program perikanan budidaya melalui diseminasi pengembangan teknologi budidaya udang supra intensif yang mulai direplikasi oleh pelaku usaha dan pemerintah daerah di sejumlah provinsi dan kabupaten.

Dari uraian di atas memberi referensi kepada kita bahwa lahirnya transformator-transformator yang berdaya saing akan menjadi faktor pendorong utama atas terwujudnya program ketersediaan pangan. Semoga.
*)Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah