Kunjungan Wisman Ke Penangkaran Maleo Turun Drastis

id turis

Kunjungan Wisman Ke Penangkaran Maleo Turun Drastis

Ilustrasi (ANTARA)

Kasus teroris yang terjadi di Dataran Napu (Kabupaten Poso) sangat berdapak terhadap kunjungan wisman ke sejumlah obyek wisata Taman Nasional Lore Lindu
Palu,  (antarasulteng.com) - Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke lokasi penangkaran maleo (macrocephalon), satwa endemik Sulawesi di Kabupaten Sigi kurun Januari-Maret 2015 turun drastis dibandingkan sebelumnya.

"Kasus teroris yang terjadi di Dataran Napu (Kabupaten Poso) sangat berdapak terhadap kunjungan wisman ke sejumlah obyek wisata Taman Nasional Lore Lindu," kata Herman Sasia, petugas Polhut di Desa Saluki, Kabupaten Sigi, Jumat.

Ia mengatakan, sebelum adanya beberapa warga Napu yang hilang dan di duga kuat dihabisi teroris, wisman yang datang ke obyek wisata termasuk lokasi penangkaran burung maleo di Desa Saluki cukup banyak.

Setiap bulan ada sekitar 20 wisman yang datang ke lokasi penangkaran maleo. "Tetapi sejak adanya gangguan teroris di sejumlah desa di Kecamatan Lore Utara dan Selatan, kebanyakan wisman enggan berkunjung," katanya.

Ia mengatakan, terjadi penurunan kunjungan wisman hingga mencapai 70 persen per bulan selama tiga bulan terakhir ini.

Biasanya, kata Herman, para wisman pertama datang mengunjungi obyek wisata Danau Tambing yang terletak di wilayah Dongi-Dongi.

Wilayah Dongi-Dongi terbagi dua, sebagian masuk Kabupaten Sigi dan Poso.

Dari Danau Tambing, kata dia, selanjutnya para wisman mengadakan perjalanan ke lokasi penangkaran maleo.

Selama ini kebanyakan wisman yang datang baik ke Danau Tambing dan penangkaran maelo berasal dari Prancis, Amerika, Belanda, Inggris dan Jepang.

Mereka datang biasanya berombongan hingga 5-10 orang. Ada yang menginap sampai tiga hari dan ada pula yang langsung kembali ke Kota Palu.

Heman yang pernah menerima penghargaan lingkungan hidup dari Wakil Presiden Boediono itu mengatakan, untuk melestarikan dan meningkatkan populasi burung meleo di kawasan hutan konservasi itu, pihaknya sejak 1997 telah membangun proyek penangkaran di desa Saluki.

Desa Saluki yang menjadi lokasi proyek penangkaran maleo, termasuk salah satu dari sekitar 70 desa yang berada di sekitar kawasan TNLL.

Sejak dilakukan penangkaran, populasi satwa endemik itu setiap tahunya terus meningkat.

Lokasi penangkaran maleo di desa Saluki berada diatas areal hutan seluas dua hektar.

Menurut dia, dari sistem pemeliharaan reproduksi alami yang dilakukan selama ini, setiap bulannya rata-rata 20 ekor anak maleo hasil penangkaran dilepas kembali ke habitatnya.

Sarana dan prasarana pemeliharaan reproduksi alami maleo di lokasi penangkaran di desa Saluki terbilang saat ini sudah cukup memadai.

Upaya pelestarian dengan sistem penangkaran merupakan solusi paling tepat untuk menghindari burung maleo dari ancaman kepunahan, dan sekaligus meningkatkan kembali populasinya.

Hingga kini sudah sekitar 900 ekor anak maleo hasil penangkaran dilepas ke habitatnya.

Wisman yang berkunjung ke lokasi penangkaran maleo selama ini selain melihat sistem penangkaran satwa endemik tersebut, juga meneliti berbagai jenis burung yang hidup di sekitar lokasi penangkaran.

Kebanyakan wisman adalah para peneliti burung. (skd)