Upaya Sulteng Meningkatkan Manfaat Kapal Inkamina

id kapal, nelayan

Upaya Sulteng Meningkatkan Manfaat Kapal Inkamina

Dirjen Perikanan Tangkap Heryanto Marwoto (kiri), Wagub Sulteng H. Soedarto (kedua kiri) dan Kadis KP Sulteng Hasanuddin Atjo (ketiga kiri) menyaksikan kapal Inka Mina untuk nelayan Sulteng di PPI Donggala, Kamis (13/12) (ANTARANew/Rolex Malaha)

Palu,  (antarasulteng.com) - Sulawesi Tengah dalam kurun waktu 2011-2014 mendapatkan bantuan 47 kapal penangkap ikan bertonase 30 gross ton (GT) dan tiga unit bertonase 10 GT lewat program Inkamina Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Inkamina adalah akronim dari kata Instruksi Presiden untuk pengadaan kapal (Inka) dan mina (perikanan).

Proyek ini dilaksanakan berdasarkan Instruksi Presiden No.1 Tahun 2010, di mana Presiden Yudhoyono memerintahkan Menteri KP untuk mengadakan 1.000 unit kapal bertonase 30 GT bagi para nelayan di seluruh Indonesia.

Provinsi berpenduduk sekitar 2,6 juta jiwa ini ternyata menjadi salah satu daerah penerima bantuan paling banyak yakni 47 kapal.

Kapal-kapal bernilai Rp1,5 miliar per unit itu diserahkan kepada kelompok usaha bersama (KUB) nelayan di seluruh daerah yang sudah terseleksi dengan baik untuk dioperasikan, masing-masing satu kapal untuk setiap KUB.

Sulteng mendapat keistimewaan dari KKP karena Dinas KP setempat dinilai memiliki kepedulian tinggi dalam melaksanakan proyek ini mulai dari pengadaan kapal, penyiapan kelompok usaha bersama (KUB) nelayan pengelola, hingga membina dan mengawasi operasional kapal.

"Bahkan, kami melibatkan sejumlah akademisi dari Universitas Tadulako Palu untuk melakukan penelitian soal pemanfaatan kapal tersebut, sejauh mana manfaatnya dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan dan kendala yang dihadapi di lapangan," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Hasanuddin Atjo.

Selain itu, sejak 2013, Dinas KP Sulteng menginisiasi pembentukkan Forum Inkamina yang beranggotakan seluruh KUB pengelola kapal. Forum ini bertemu secara rutin paling tidak dua kali setahun untuk bertukar pengalaman guna meningkatkan kinerja tangkap dan penguatan kelembagaan KUB.

Dalam Forum Inkamina yang digelar di Palu, Selasa (21/4), dilaporkan bahwa hingga akhir 2014, kapal-kapal Inkamina tersebut sudah memproduksi ikan sebanyak 3.700 ton dengan nilai total Rp30 miliar.

"Alhamdulillah sampai saat ini kapal-kapal ikan tersebut masih dalam kondisi baik dan beroperasi normal, namun saya belum puas dengan hasil produksi mereka," kata Hasanuddin Atjo.

Ia mengaku belum puas dengan hasil tersebut karena hari operasional nelayan dalam melaut rata-rata hanya 85 hari dalam setahun, padahal seharusnya bisa mencapai paling sedikit 150 hari.


Loyalitas nelayan

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako (Untad) Palu yang melakukan penelitian terhadap operasional kapal Inkamina sejak 2013, DR Muhammad Noval, MS mengemukakan bahwa rendahnya hari melaut tersebut disebabkan loyalitas nelayan rendah.

"Para nelayan anggota KUB pengelola kapal pada umumnya kurang setia kepada nakhoda kapal untuk turun melaut, karena berbagai," ujar Noval.

Kurangnya es balok untuk pengawet ikan dan terbatasnya solar bersubsidi untuk mesin kapal, merupakan kendala terbesar yang dihadapi dalam kegiatan operasional.

Akibatnya nelayan tidak bisa lama-lama di laut karena solar tak cukup, dan es balok untuk mengawetkan ikan sangat minim.

"Kalau bertahan tiga hari saja di laut, maka kapal akan kehabisan solar dan ikan akan membusuk. Terpaksa operasional mereka hanya `one day fishing` atau pergi pagi pulang petang," ujarnya.

Karena hasil tangkapan minim dan operasional kapal menerapkan sistim bagi hasil dengan para nelayan, maka hasil yang diperoleh nelayan juga minim.

Inilah yang menyebabkan loyalitas nelayan masih rendah. Mereka mudah sekali tergiur untuk meninggalkan kapal bila ada tawaran pekerjaan yang lebih menarik.

"Di Tolitoli, misalnya, kalau musim panen cengkeh atau kakao, banyak nelayan meninggalkan kapal untuk memetik cengkeh karena hasilnya lebih menarik," ujarnya.

Namun demikian, Noval mengakui bahwa sekalipun penghasilan nelayan pengelola kapal Inkamina saat ini masih belum maksimal, namun kehadiran kapal-kapal bantuan KKP ini sangat signifikan meningkatkan kesejahteraan nelayan.

"Penghasilan nelayan anggota KUB pengelola kapal Inkamina saat ini berkisar antara Rp150.000 sampai Rp300.000 per hari, dengan waktu melaut rata-rata 12 hari dalam sebulan," ujarnya.

Kalau loyalitas nelayan bisa ditingkatkan dengan mengatasi masalah-masalah operasional, hasil tangkapan dan penghasilan nelayan bisa dinaikkan menjadi dua kali lipat dari yang mereka terima saat ini.

Pabrik Es

Ketua Forum Inkamina Sulteng Syahrul mengakui bahwa keterbatasan es balok dan bahan bakar minyak bersubsidi untuk nelayan merupakan kendala klasik yang dihadapi nelayan sampai saat ini.

"Nelayan-nelayan kami ini sering membuang ikan di laut karena membusuk sebab es untuk mengawetkannya tidak cukup. Mau bawa ke darat, bahan bakar tidak cukup untuk bolak-balik, sementara di tempat pendaratan ikan, sarana ruang pendingin (cold storage) juga tidak ada," ujarnya.

Sebenarnya banyak investor yang mau membangun pabrik es balok di tempat-tempat pendaratan ikan, namun masalahnya adalah listrik PLN tidak cukup untuk memasok pabrik-pabrik tersebut.

Ia memberi contoh di Morowali, pabrik es yang dibangun pemda dengan memanfatkan dana pinjaman luar negeri tidak beroperasi selama hampir tiga tahun karena listrik PLN tidak mampu memenuhi kebutuhan pengelolaan pabrik.

Akibatnya, nelayan harus membeli es balok dari Poso yang berjarak 300 kilometer sehingga harganya menjadi sangat mahal yakni Rp25.000/balok karena ongkos angkutnya mahal dan penyusutan esnya sangat besar karena waktu pengangkutan bisa mencapai 10 jam.

Kepala Dinas KP Sulteng Hasanuddin Atjo mengakui bahwa kendala-kendala klasik itu masih menyelimuti nelayan di daerahnya sampai saat ini meski upaya pemerintah untuk melakukan intervensi sudah makin besar.

Pada 2015, pemerintah akan membangun sejumlah pabrik es balok dengan kapasitas cukup besar dan lokasi menyebar, termasuk sebuah stasiun pelayanan bahan bakar minyak solar untuk nelayan (SPDN-solar packet dealer nelayan).

Di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Ogotua, Kabupaten Tolitoli, misalnya, sedang dibangun pabrik es berkapasitas 10 ton. Pabrik es balok itu akan diperkuat lagi dengan membangun ruang pembekuan ikan (ABF-air blast freezer) dan gudang pendinginan (cold storage) berkapasitas puluhan ton.

Sementara di PPI Donggala yang telah memiliki pabrik es balok berkapasitas lima ton, berikut ABF dan gudang pendingin, masih akan dibangun lagi satu pabrik es balok berkapasitas 10 ton. Sedangkan SPDN akan dibangun di PPI Pagimana atas kerja sama dengan pihak swasta.

Dengan begitu, semua PPI yang dikelola Pemerintah Provinsi Sulteng sudah memiliki pabrik es balok dengan kualitas baik, dua di antaranya memiliki SPDN, ABF, dan cold storage.

Ini semua adalah bagian dari intervensi pemerintah bagi nelayan agar siap menghadapi persaingan ketat dalam era pasar bebas ASEAN (masyarakat ekonomi ASEAN) pada akhir 2015. (skd)