Budidaya Udang Supra Intensif Unggulan Sulteng Pasca Sail Tomini

id supra intensif

Budidaya Udang Supra Intensif Unggulan Sulteng Pasca Sail Tomini

Sekretaris Dekin Dedi H. Sutisna (kedua kiri), Bupati Parigi Moutong Syamsurizal Tombolotutu (kedua kanan) dan Kadis KP Sulteng Hasanuddin Atjo (kiri) saat meninjau lokasi budi daya udang supra intensif Indonesia di Desa Kampal, Kabupaten Parigi Moutong, SUlteng, baru-baru ini yang akan menjadi tem

KKP sendiri menekankan pentingnya inovasi teknologi dalam mencapai kedaulatan pangan sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo."
Palu (antarasulteng.com) - Teknologi budi daya udang Supra Intensif Indonesia (SII) diluncurkan sejak 19 Oktober 2013 oleh Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia Rokhmin Dahuri di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.

Hingga pertengahan 2015 ini, belum ada satu pihak pun yang membantah bahwa teknologi budi daya hasil rekayasa Dr Ir Hasanuddin Atjo, MP, putra daerah Sulawesi tengah kelahiran Poso 55 tahun lalu itu sebagai teknologi budi daya paling produktif di dunia, yakni 153 ton per hektare.

Saat diluncurkan di areal tambak udang CV. Dewi Windu milik Hasanuddin Atjo itu, produktivitas udang paling tinggi di dunia saat itu terdapat di Meksiko dengan angka 100 ton perhektare.

Kendati demikian, pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tampaknya belum menunjukkan kepedulian yang wajar untuk pengembangan teknologi ini.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Ibnu Multazam saat meninjau tambak percontohan SII di Kelurahan Mamboro, Palu, beberapa waktu lalu menegaskan bahwa pemerintah perlu menyediakan dana APBN untuk pengembangan tambak-tambak percontohan budidaya udang supra intensif di seluruh daerah untuk mengenalkannya kepada para petambak.

Menurut dia, sangat ideal bila setiap provinsi memiliki satu atau dua unit tambak percontohan berukuran 20x20 meter persegi seperti yang dikembangkan di Mamboro tersebut sebagai lokasi study banding bahkan tempat praktik bagi para peminat yang akan mereplikasinya di tempat masing-masing.

Anggarannya tidak besar karena untuk biaya konstruksi tambak berukuran 400 m2 hanya sekitar Rp700 juta, padahal produksinya setiap siklus panen berkisar antara 6,8 sampai 7,2 ton, atau kalau dikonversi ke satuan hektare mencapai 175 ton per hektare.

Karena itu, ia mendesak Dirjen Perikanan Budidaya KKP untuk segera mengajukan ke DPR RI usul anggaran pembangunan tambak-tambak percontohan budidaya udang SII ini di seluruh daerah yang potensial sebagai penghasil udang.

"Kami pasti mendukung pengalokasian anggarannya di DPR, bila perlu, pada APBN-Perubahan 2015 nanti sudah ada alokasinya," ucap Multazam, politisi PKB itu.

Komisaris Bank Bukopin Yoyok Sunaryo yang juga pengusaha tambak udang menilai sistem budi daya udang supra intensif Indonesia ini sangat cocok untuk dikembangkan oleh pengusaha kecil dan menengah (UKM).

"Kalau mau meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara penghasil udang utama dunia, maka tambak percontohan supra intensif seperti ini harus diperbanyak," tuturnya, saat meninjau lokasi percontohan di Mamboro.

Teknologi ini tepat dikembangkan di Indonesia karena berbagai kelebihannya seperti produktivitas yang tinggi, bebas penyakit, dan tidak membutuhkan lahan yang luas. Ia pun yakin bank-bank akan tertarik membiayai bisnis ini.

Kebersihan lingkungan

Hasanuddin Atjo selaku penemu teknologi ini mengakui bahwa budi daya supra intensif Indonesia merupakan bisnis yang "high calculate" (perhitungan tinggi), bukan "high-risk".

Kunci utama keberhasilan teknologi ini adalah menjaga kebersihan lingkungan kolam dengan menciptakan teknologi "central drain" yang menyedot dan membuang secara otomatis limbah berupa residu pakan dan kotoran udang.

Dengan begitu, kebersihan lingkungan tambak sangat terjaga sehingga udang bebas penyakit dan berkembang lebih cepat.

Penggunaan teknologi central drain ini diikuti dengan menerapkan secara ketat standar kualitas benih dan sarana produksi, pengaturan ketinggian air, pemberian pakan secara otomatis, penggunaan kincir hingga pelaksanaan panen secara parsial.

Terkait profitabilitas sistem ini, Atjo mengatakan bahwa dengan harga udang yang cukup tinggi dewasa ini, keuntungan yang diperoleh bisa mencapai 50 persen dari biaya produksi.

Ia memberi contoh tambak percontohan yang dibangun di Kelurahan Mamboro seluas 400 meter persegi, dan telah menjalani enam siklus panen.

Biaya investasi pembangunan tambak hanya sekitar Rp700 juta, sedangkan biaya produksi setiap kilogram udang berkisar Rp23.000. Jumlah benih yang ditebar sebanyak 400.000 ekor atau rata-rata 1.000 ekor per meter persegi.

Dari enam siklus budi daya, produksi rata-rata mencapai 6,8 ton atau bila dikonversi ke satuan hektare mencapai sekitar 175 ton/hektare.

"Kalau produksi udang 6.800 kg itu dijual dengan harga rata-rata Rp40.000/kg saja, maka nilai produksi totalnya adalah Rp300 juta, sementara biaya produksi Rp160-an juta/siklus, sementara setiap tahun siklus budi daya bisa tiga sampai empat kali," ujarnya.

Terkait Sail Tomini 2015, DKP Sulteng telah membangun dua unit tambak percontohan budi daya udang supra intensif di Kabupaten Parigi masing-masing berukuran 25x25 meter untuk menjadi lokasi panen yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo pada 19 September 2015.

Momentum Sail Tomini 2015 ini diharapkan menjadi batu loncatan yang besar untuk menjadikan udang sebagai komoditi strategis tidak hanya di Sulawesi Tengah tetapi juga di Indonesia, sehingga kondisi ini akan memenuhi harapan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani bahwa Sail Tomini harus menghasilkan  sesuatu yang dapat dinikmati oleh rakyat dan daerah dalam jangka panjang.

Lewat kegiatan panen oleh Presiden tersebut, perhatian pemerintah terhadap pengembangan teknologi ini akan lebih signifikan, apalagi KKP sendiri menekankan pentingnya inovasi teknologi dalam mencapai kedaulatan pangan sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo.

"Aspek pengembangan dan inovasi teknologi akuakultur merupakan salah satu tulang punggung pencapaian target menjadikan Indonesia sebagai produsen perikanan terbesar di dunia," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan KKP Achmad Poernomo dalam suatu kesempatan.

Untuk mengejar target itu, kata Poernomo, diperlukan beragam teknologi inovatif, tepat guna, efektif dan mudah diterapkan oleh berbagai pemangku kepentingan yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam sistem produksi akuakultur. (R007/C004)