Mengembalikan Sulsel Sebagai Basis Industri Udang Nasional

id has atjo

Mengembalikan Sulsel Sebagai Basis Industri Udang Nasional

Hasanuddin Atjo berpose di tepi tambak intensif miliknya di Kabupaten Barru, beberapa saat sebelum tambak itu dikeringkan dalam rangka panen pada tahun 2012. (AntaraNews/Rolex Malaha)

Pertemuan saudagar Bugis Makassar XV dan Temu Bisnis Saudagar Nusantara-Mancanegara yang berlangsung 26-28 Juli 2015 di Makassar dan Takalar dapat menjadi pintu masuk untuk mewujudkan rencana-rencana besar itu.
TAHUN 1985 sampai awal 2000 merupakan era kejayaan industri udang Sulawesi Selatan. Saat itu sejumlah investor menginvestasikan uangnya untuk pengembangan tambak udang dengan teknologi semi intensif maupun intensif, petambak kecilpun ikut meramaikan melalui teknologi sederhana.

Saat itu, benih udang windu harus didatangkan dari Pulau Jawa menggunakan pesawat udara karena kemampuan produksi balai benih atau hatchery tidak mencukupi. Akibatnya Bandara Hasanuddin kala itu berubah seperti pasar dadakan.

Demikian pula dengan kebutuhan sarana dan prasarana seperti pakan dan peralatan berupa pompa air dan kincir juga harus diimpor, termasuk tenaga ahli hatchery dan tambak dari Taiwan.

Meningkatnya produksi udang windu ikut memicu lahirnya sejumlah cold storage atau gudang berpendingin di Kawasan Industri Makasar (KIMA), yang menampung hasil produksi untuk di ekspor ke Jepang dan Uni Eropa, umumnya dalam bentuk segar dan minim olahan yang bernilai tambah.

Boleh dikata bahwa usaha perudangan saat itu menjadi primadona dan dipandang mampu menggerakkan perekonomian masyarakat apalagi di kala krisis ekonomi 1998, dapat menyerap tenaga kerja dan penghasil devisa.

Sayangnya, pada kurun waktu 2001-2005, pelaku usaha tambak windu dari yang menerapkan teknologi sederhana sampai kepada yang intensif, baik di Sulsel maupun nasional, berteriak minta ampun oleh karena wabah penyakit bintik putih atau whitespot yang disebabkan whitespote syndrom virus (WSSV) dan penyakit insang merah karena bakteri 
vibrio harveyi.
Industri udang menjadi porak-poranda, banyak tambak yang tutup demikian pula dengan hatchery dari skala rumah tangga sampai skala besar di Takalar, Barru dan Pinrang tidak beroperasi. Cold storage pun kekurangan bahan baku sehingga banyak tenaga kerja yang terpaksa dirumahkan.

Munculnya serangan penyakit kala itu antara lain disebabkan penerapan teknologi budidaya berlangsung secara liar tanpa kendali, lemahnya pengawasan terhadap produksi dan distribusi benih dan sarana lainnya yang menjadi salah satu pemicu utama serangan penyakit. Kurangnya pendampingan dan termasuk belum adanya pemetaan tata ruang wilayah pesisir.

Kini dalam kurun waktu 2005-sekarang industri udang Sulsel maupun nasional kembali menggeliat setelah berhasil mengembangkan jenis udang impor dari Amerika Latin yang namanya udang vaname (letapenaeus vanamae). Namun demikian keberhasilan ini harus dijaga keberlanjutannya dan dibangun daya saingnya, sehingga diperlukan strategi maupun upaya antisipatif agar pengalaman buruk komoditas windu di periode sebelumnya tidak terulang.

Industrialisasi

Setidaknya ada lima faktor penentu kesuksesan sebuah industrialisasi udang yaitu jaminan ketersediaan (1) bahan baku; (2)sarana dan prasarana untuk produksi bahan baku; (3) unit prosessing berorientasi nilai tambah; (4) kualitas infrastruktur dasar berupa listrik, air bersih, transportasi darat serta pelabuhan udara dan laut, dan (5) sumberdaya manusia yang berdaya saing.

Sulawesi Selatan memiliki kelima faktor tersebut sehingga merupakan sebuah kewajaran dan tidak berlebihan kalau di klaim dapat dijadikan basis industri udang di timur Indonesia, mengembalikan kejayaan yang pernah dialami.

Sejumlah alasan yang mendasari pemikiran ini di antaranya (1) masyarakat pesisir Sulawesi Selatan yang terkenal sebagai petambak yang handal dan telah merebak ke sejumlah wilayah pesisir di Indonesia. (2) memiliki talenta sebagai masyarakat inovatif karena daerah ini berhasil membenihkan udang windu pertama kali di Indonesia oleh almarhum Alie Purnomo BSc, Fuad Cholid, BSc dkk, tahun 1970 di Balai Benih Udang Paotere Makassar yang diprovokasi Kadis Perikanan Sulsel saat itu Drs Yunus Bandu (almarhum), dan penanggung jawab balai benih, Paulus P. Sitepu, BSc.

Dan yang lebih spektakuler lagi dan menghebohkan dunia adalah ditemukannya inovasi budidaya udang supra intensif Indonesia oleh anak bangsa, putra daerah Sulawesi Selatan yakni Dr.Ir Hasanuddin Atjo, MP tahun 2011 di Kabupaten Barru dengan produktifitas tertinggi di dunia sebesar 153 ton/ha/musim tanam, mengalahkan Mexiko yang hanya 100 ton.

(3) memiliki sejumlah sarana edukasi untuk melahirkan SDM perikanan mulai SMK, diploma sampai kepada Fakultas Perikanan, serta memiliki sejumlah Balai Riset Perikanan. (4) kawasan timur memiliki potensi sumberdaya tambak yang terbesar dan sekitar 120.000 ha berada di Sulawesi Selatan. (5) memiliki infrastruktur penunjang seperti hatchery, irigasi tambak, cold storage dan prosessing berorientasi nilai tambah, kawasan industri, bandara internasional dan cikal pelabuhan laut ekspor.

Mewujudkan Sulsel sebagai basis industri udang nasional dan kawasan industri terintegrasi Takalar tidak cukup dengan lima nilai lebih di atas, tetapi  diperlukan regulasi, intervensi dan keberpihakan dari Pemerintah Pusat, dukungan dari daerah lain di timur Indonesia, lembaga pembiayaan, dunia usaha serta akademisi dan peneliti.

Forum atau pertemuan saudagar Bugis Makassar XV dan Temu Bisnis Saudagar Nusantara-Mancanegara yang berlangsung 26-28 Juli 2015 di Makassar dan Takalar dapat menjadi pintu masuk untuk mewujudkan rencana-rencana besar itu.

Supra Intensif dan Peluang Usaha

Tahun 2011 di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, lahir teknologi budidaya udang supra intensif dengan produktifitas spektakuler tertinggi di dunia yakni 153 ton/ha/musim tanam, atau 306 ton/tahun.

Teknologi ini basisnya adalah disertasi Hasanuddin Atjo dengan promotor Prof. Natsir Nessa, Prof. Winarni Manoarfa dan Prof. Akbar Tahir pada 2004 di Unhas Makassar, dilanjutkan kajian implementatif 2004-2011.

Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia Prof. Rokhmin Dahuri berpendapat teknologi ini perlu segera dirilis dan pada 23 Oktober 2013 dilakukan  launching secara resmi, karena dipandang dapat dipertanggung jawabkan.  
Kini teknologi ini telah direplikasi selain di Sulawesi Selatan, juga di Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, dengan hasil yang sama kemudian akan menyusul Gorontalo, Sulawesi Barat dan Sulawesi Tenggara.

Bila diasumsikan di kawasan timur Indonesia dikembangkan tambak menggunakan teknologi ini seluas 5.000 ha saja secara terencana dan terkendali dengan produktivitas 200 ton/ha/tahun, maka setidaknya setiap tahunnya tersedia bahan baku sekitar 1 juta ton (saat ini produksi udang nasional menghampiri 600 ribu ton dan kontribusi timur sekitar 20 persen).

Efek domino dari ketersediaan bahan baku ini antara lain membutuhkan (1) unit prosessing berorientasi nilai tambah sekitar 100 unit, tenaga kerja prosessing sekitar 600 ribu orang belum termasuk di tambak dan hatchery. (2) induk udang satu juta pasang  untuk memproduksi benih sejumlah 100 miliar ekor sehingga terbuka peluang usaha mengembangkan industri broodstock (produsen induk) dan hatchery (produsen benih). (3) pabrik pakan, peralatan tambak seperti kincir dan pompa air, serta (4) beberapa aktivitas yang terkait dengan hasil ikutan atau dampak tidak langsung dari teknologi supra ini.

Poros Maritim dan Kawasan Integrasi

Visi dari Presiden-Wakil Presiden Jokowi-Jusuf Kalla antara lain mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri, kuat dan tangguh.  Salah satu strateginya meningkatkan konektivitas antara kawasan barat dan timur melalui konsep Tol Laut dengan harapan terjadi pemerataan pertumbuhan.  

Kontribusi kawasan timur saat ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional hanya sekitar 18 persen sementara kawasan barat 82 persen dan rasio ini dalam lima tahun terakhir tidak berubah secara signifikan.

Harapan kita tentunya dalam lima atau 10 tahun ke depan terjadi pergeseran rasio itu minimal 30 berbanding 70 persen dan kalau belum tercapai memberi makna bahwa upaya yang dilakukan selama ini belum memberi manfaat secara maksimal.  

Kehadiran sebuah kawasan industri terintegrasi di kawasan timur menjadi penting untuk mewujudkan konsep tol laut dan pemerataan pertumbuhan ekonomi antarkawasan yang tentunya bertumpu pada pengembangan sektor agro dan kelautan.

Kabupaten Takalar dipandang sangat representatif sebagai pusat kawasan industri terintegrasi di timur Indonesia yang dapat di interkoneksi dengan kawasan ekonomi lainnya di provinsi timur Indonesia lainnya.

Nantinya  Takalar dengan kawasan industri terintegrasinya akan menjadi salah satu pintu ekspor komoditas dan pusat distribusi di timur Indonesia, sebagai pusat prosessing bernilai tambah, sebagai pusat produksi sarana dan prasarana penunjang (pakan dan peralatan mesin) sektor agro dan kelautan. Dengan pola seperti ini tentunya akan meningkatkan efisiensi dan daya saing sektor agro dan kelautan di kawasan timur dan dapat diintegrasikan dengan pemberlakuan pasar bersama ASEAN 2015.

Berdasarkan gambaran di atas menunjukkan bahwa dengan satu komoditas saja yang dikelola dengan teknologi maju yang terukur dan terkendali akan memberikan efek domino yang luar biasa, apalagi kawasan timur memiliki sejumlah komoditas unggulan. *) Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah.