Bila Nelayan Membuang Ikan Ke Laut

id nelayan, sulteng, morowali, bungku

Bila Nelayan Membuang Ikan Ke Laut

Rahman, seorang nelayan di Bungku mengaku sering membuang ikan ke laut karena membusuk akibat tidak ada es batu. (ANTARANews/Rolex Malaha)

Ini berarti nilai jual ikan yang dibuang percuma mencapai Rp24 juta."

Palu (antarasulteng.com) - Di negeri manapun di bumi ini, nelayan itu pekerjaannya menangkap ikan, namun di Sulawesi Tengah, tidak sedikit nelayan yang setelah menangkap ikan, terpaksa membuangnya kembali ke laut karena keburu busuk sebelum terjual.


"Apa boleh buat pak, kami terpaksa membuangnya ke laut karena tidak bisa dijual lagi. Tidak cukup es batu untuk mengawetkannya sehingga ikan membusuk," ujar Iwan, seorang nakhoda kapal penangkap ikan dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) nelayan `Tepeasa` di Bungku, Kabupaten Morowali.

Saat ditemui sedang membongkar hasil tangkapan di dermaga pelabuhan laut Bungku belum lama ini, Iwan mengemukakan bahwa pembuangan ikan itu bukan satu-dua kali dilakukan, tetapi sudah beberapa kali.

"Kami pernah menangkap ikan sebanyak 60 gabus (kotak berisi rata-rata 50 kg ikan segar). Yang bisa kami jual hanya 30 gabus, yang lain kami bawa kembali ke tengah laut dan menumpahkannya di sana," kata Iwan yang punya 20-an anak buah itu.

Saat itu, Januari 2013, harga ikan sedang mahal, mencapai sekitar Rp800.000,00 per gabus. Ini berarti nilai jual ikan yang dibuang percuma mencapai Rp24 juta.

"Kalau mau dihitung-hitung, ikan yang kami buang selama mengoperasikan kapal 30 GT yang diberikan pemerintah (Kementerian Kelautan dan Perikanan-red) pada akhir 2012 itu, sudah mencapai 100-an gabus," katanya.

Kendala utamanya adalah kelangkaan es batu (balok) untuk mengawetkan ikan, sebab di Bungku, nyaris tidak ada pabrik es balok sehingga harus memesannya dari Poso, sekitar 300 kilometer perjalanan darat.

Pengakuan dan keprihatinan Iwan ini juga dialami para nelayan di Donggala, Tolitoli, Buol dan Banggai, bahkan hampir di seluruh wilayah provinsi yang memiliki sekitar 80.000 kepala keluarga nelayan ini.

Karena itu, dosen perikanan pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu DR Arifuddin Lamusa mendesak pemerintah untuk lebih berpihak kepada nelayan agar jangan sampai para nelayan tertimpa malapetaka seperti kata pepatah `tikus mati di lumbung padi.`

"Sudah tangkapannya sedikit, dibuang pula ke laut karena keburu busuk sebelum terjual," ujar Arifuddin yang mengaku hidup dan menjadi doktor perikanan dari hasil menangkap ikan di laut itu.

Program pemberdayaan

Sulawesi Tengah di bawah kepemimpinan Gubernur Longki Djanggola sejak 2011 telah mencanangkan visi pembangunan yakni mensejajarkan daerah ini dengan provinsi maju di kawasan timur Indonesia melalui agrobisnis dan kelautan/perikanan.

Karena itu, dalam upaya mengimplementasikan visi tersebut, maka pengembangan sektor kelautan dan perikanan sampai 2025 akan fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya perikanan dengan ditopang dua program utama yaitu industrialisasi dan ketahanan pangan.

Dalam program pemberdayaan ini, kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Hasanuddin Atjo, nelayan akan mendapat berbagai stimulus dari pemerintah mulai dari peningkatan keterampilan dan penguatan kelembagaan sampai pada bantuan sarana, prasarana dan fasilitas yang dibutuhkan.

Ia memberi contoh, dalam tiga tahun terakhir, nelayan Sulteng mendapat alokasi bantuan kapal penangkap ikan bertonase 30 GRT dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sebanyak lima kapal pada 2011, naik menjadi tujuh kapal pada 2012 dan 2013 ini naik lagi menjadi 15 kapal.

"Bantuan kapal ini belum termasuk program yang sama di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota yang juga menyalurkan sejumlah kapal penangkap ikan dengan tonase di bawah 30 GRT," ujarnya.

Para nelayan juga dibantu untuk mensertifikatkan tanah mereka agar bisa mengakses permodalan di bank. Kalau pada 2012 nelayan yang mendapat bantuan sertifikat tanah gratis hanya 570-an persil, tahun 2013 ini akan dilayani sebanyak 1.300 persil.

Nelayan juga mendapat bantuan dana segar (hibah) untuk pengembangan usaha mina pedesaan (PUMP) melalui kelompok usaha bersama (KUB) nelayan tahun 2013 ini sebanyak Rp15,4 miliar atau Rp100 juta per KUB, naik cukup tinggi dibanding tahun sebelumnya Rp11 miliar.

Pemerintah juga meningkatkan sarana dan prasarana serta fasilitas di sejumlah pelabuhan pendaratan ikan sehingga nelayan lebih mudah mendapatkan es balok dan bahan bakar untuk melaut serta berbagai kemudahan untuk menjual ikannya ke pasar.

Bahkan mulai 2013 ini, kata Atjo, akan dibangun lagi sebuah Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Ogotua, Kabupaten Tolitoli, yang akan menghabiskan dana Rp30 miliar, serta meningkatkan tiga PPI serta sejumlah TPI yang sudah ada," ujarnya.

Makin sejahtera

"Alhamdulillah, program pemberdayaan nelayan di daerah kita ini sangat intens. Buktinya, masyarakat di sektor perikanan secara rata-rata lebih sejahtera dari masyarakat yang hidup dari usaha tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perkebunan rakyat," katanya.

Hal itu terlihat dari nilai tukar petani (NTP) yang diukur dan diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap bulan. NTP adalah perbandingan antara indeks yang diterima oleh petani dari usaha taninya dan indeks yang dibayarkan petani dan dinyatakan dalam persen.

Bila angka NTP lebih besar dari 100 persen memberi indikasi bahwa petani/nelayan secara keseluruhan sudah sejahtera karena ada potensi untuk menabung atau membeli kebutuhan lainnya dari hasil usaha tani/nelayan, sedangkan bila kurang dari 100 persen berarti kelompok tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya dari hasil usaha tani/nelayan.

NTP Sulawesi Tengah dalam tiga tahun terakhir masih bertahan di bawah angka 100 persen. Di tahun 2010 misalnya, nilai itu berada pada angka 97 persen, dan bertahan pada angka itu hingga 2012, jauh di bawah angka nasional 105 persen.

Namun yang menggembirakan, NTP untuk kelompok perikanan pada 2012 ternyata sudah bisa menyentuh angka 111 persen, berada di bawah kelompok hortikultura 104 persen sementara tiga kelompok lainnya masih di bawah 100 persen.

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulawesi Tengah, target NTP Sulawesi Tengah di 2012 sebesar 102 persen, namun secara gabungan NTP Sulawesi Tengah di tahun itu baru mencapai 97 persen.

Ini berarti ada pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk memperkecil perbedaan itu masih sangat besar. (R007)